Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Julian Ambassador Shiddiq mengungkapkan sejarah perkembangan sektor pertambangan Indonesia dan pentingnya revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Dalam pemaparan materinya, ia menjelaskan bahwa hak-hak pertambangan di Indonesia telah berkembang sejak 1910, dengan berbagai perubahan regulasi yang dilaksanakan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan investasi dan pengelolaan sumber daya alam.
“Sebelum 1949, banyak hak pertambangan yang belum dikerjakan atau tidak diteruskan. Pada 1977, Undang-Undang No. 11 Tahun 1977 mengatur ketentuan-ketentuan pokok pertambangan yang kemudian diperbarui dengan BP 32 Tahun 1969 dan BP 25 Tahun 1964,” jelas Julian dalam acara Strategic Discussion yang diselenggarakan oleh Indonesia Mining Institut (IMI) di Westin Jakarta, Selasa (4/2/2025).
Undang-undang tersebut, lanjutnya, bertujuan menarik investasi asing melalui kontrak karya dan perjanjian kerja sama perusahaan negara. Perubahan signifikan terjadi pada tahun 2009 dengan diundangkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 2009, yang menggantikan sistem perizinan lama dengan izin usaha pertambangan.
Revisi terbaru terjadi pada tahun 2020 dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 2020, yang mengatur perubahan besar dalam kewenangan dan sistem perizinan, termasuk pengelolaan smelter yang kini dikelola oleh Kementerian Industri dan Kementerian ESDM, tergantung pada integrasi dengan penambangan.
Undang-Undang 3 Tahun 2020 juga membawa perubahan dalam struktur wilayah pertambangan yang lebih terintegrasi dan memberikan kepastian hukum mengenai jaminan ruang dan perizinan perusahaan berbasis risiko.
“Pemerintah daerah kini memiliki peran yang lebih besar dalam pengelolaan pertambangan, termasuk pemetaan wilayah eksplorasi,” tambahnya.
Pentingnya perubahan ini tidak hanya terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, tetapi juga terkait dengan peningkatan penerimaan negara dan pengelolaan kegiatan pasca-tambang.
“Peningkatan penerimaan negara dan kepastian hukum bagi kontrak-kontrak lama dalam bentuk IUPK adalah langkah untuk memodernisasi sistem pertambangan Indonesia,” ungkapnya.
Julian juga menyoroti tantangan yang dihadapi oleh sektor pertambangan, terutama terkait dengan penambangan ilegal.
“Seperti yang terjadi dengan kasus penambangan ilegal oleh WNA China, yang merugikan negara lebih dari 1 triliun rupiah, kami akan terus mengawal kasus ini dan memastikan penegakan hukum yang tegas,” tegasnya.
Selain itu, pemerintah terus mendorong digitalisasi sektor pertambangan melalui aplikasi Minerba One, yang akan memudahkan seluruh proses bisnis pertambangan.
“Kami juga telah menetapkan 47 mineral kritis dan 22 mineral strategis untuk memastikan pemanfaatan yang lebih optimal,” ujarnya.
Dengan perkembangan regulasi dan kebijakan yang terus diperbaharui, pemerintah berharap sektor pertambangan dapat menjadi motor pertumbuhan ekonomi Indonesia, menjawab tantangan transisi energi, dan memperkuat ketahanan energi nasional.
“Kami akan terus mendukung revisi ini untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, pro-job, dan pro-growth,” tandasnya.