ESG & Lingkungan

ESG (Environmental, Social, and Governance) adalah kerangka kerja yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja perusahaan atau investasi dalam tiga aspek utama: Lingkungan (Environmental), Sosial (Social), dan Tata Kelola (Governance). Fokus pada aspek lingkungan dalam ESG menjadi semakin kritis seiring dengan meningkatnya kesadaran tentang perubahan iklim, degradasi ekosistem, dan kebutuhan akan pembangunan berkelanjutan.

ESG Banner – Environment, Society and Corporate Governance The information banner calls to commemorate this company’s contributions to environmental and social issues.

Aspek lingkungan dalam ESG mencakup kebijakan, praktik, dan dampak perusahaan terhadap alam, termasuk:

  • Emisi gas rumah kaca (GRK) seperti CO₂, metana, dan lainnya.
  • Penggunaan energi terbarukan vs. energi fosil.
  • Komitmen untuk mencapai net-zero emission atau target berbasis sains (SBTi).
  • Efisiensi penggunaan air, energi, dan bahan baku.
  • Pengelolaan limbah dan daur ulang.
  • Perlindungan keanekaragaman hayati (misalnya, menghindari deforestasi).
  • Pengurangan polusi udara, air, dan tanah.
  • Penanganan limbah berbahaya dan plastik.
  • Kesiapan menghadapi bencana alam (misalnya, banjir, kebakaran hutan).
  • Dampak operasi perusahaan pada ekosistem lokal.

  • Pemerintah dan lembaga internasional (seperti Uni Eropa dengan EU Taxonomy atau TCFD) semakin ketat dalam mengatur emisi dan praktik lingkungan.
  • Perusahaan yang tidak mematuhi regulasi berisiko terkena denda atau larangan operasi.
  • Investor institusional dan dana pensiun semakin memprioritaskan portofolio “hijau” (green investing).
  • Instrumen keuangan seperti green bonds atau sukuk hijau mensyaratkan proyek ramah lingkungan.
  • Konsumen lebih memilih merek yang peduli lingkungan (misalnya, mengurangi plastik atau menggunakan bahan daur ulang).
  • Skandal lingkungan (seperti tumpahan minyak atau deforestasi) dapat merusak reputasi perusahaan.
  • Perubahan iklim meningkatkan risiko operasional (misalnya, gangguan rantai pasok akibat cuaca ekstrem).
  • Transisi ke ekonomi rendah karbon berpotensi mengganggu bisnis yang bergantung pada energi fosil.

  • Energi Terbarukan: Perusahaan seperti Tesla atau Ørsted berinvestasi besar-besaran dalam energi surya dan angin.
  • Ekonomi Sirkular: Perusahaan seperti Patagonia atau Unilever mengadopsi model bisnis daur ulang dan penggunaan bahan berkelanjutan.
  • Carbon Offsetting: Perusahaan membeli kredit karbon atau menanam pohon untuk menetralisir emisi.
  • Sertifikasi Hijau: Contohnya LEED (bangunan ramah lingkungan) atau RSPO (kelapa sawit berkelanjutan).

  • Perusahaan mengklaim “ramah lingkungan” tanpa bukti konkret.
  • Diperlukan standar pelaporan yang transparan (misalnya, menggunakan Global Reporting Initiative/GRI atau CDP).
  • Transisi ke teknologi hijau (misalnya, energi terbarukan) memerlukan investasi besar.
  • Menghitung jejak karbon atau dampak lingkungan memerlukan metodologi yang akurat.

  • Regulasi Lebih Ketat: Misalnya, aturan CSRD (Corporate Sustainability Reporting Directive) di Uni Eropa yang mewajibkan pelaporan keberlanjutan.
  • Inovasi Teknologi: AI dan blockchain digunakan untuk melacak emisi atau rantai pasok berkelanjutan.
  • Integrasi dengan Keuangan: Bank sentral mulai memasukkan risiko iklim dalam uji ketahanan (stress test) sektor keuangan.

Aspek lingkungan dalam ESG bukan sekadar tren, tetapi kebutuhan untuk memastikan keberlanjutan bisnis dan planet. Perusahaan yang mengabaikan isu lingkungan berisiko tertinggal dalam persaingan global, sementara yang proaktif akan mendapat kepercayaan investor, konsumen, dan regulasi.